Joni Angkasa dan Nona Kucing (Fiksi)
Fiksi Ilmiah Bahasa Indonesia di Bima Sakti / Sci-fi in Indonesian at Bima Sakti
Author’s Note: I’ve translated my Bima Sakti story, Don’t Take It Personal, from English to Indonesian with the help of ChatGPT. Don’t worry, I cleaned it up so there aren’t any awkward prose (the robot also missed an entire sequence of the story in the first run, lol). But keep in mind that I haven’t written fiction in Indonesian since high school. That’s why I decided to put this in Indonesian and American rather than Germanicus Publishing or the Bima Sakti Substack. Also, I decided to change the title to something that rolls of the tongue better in Indonesian.
Joni Angkasa hidup dengan satu aturan: don’t take it personal, jangan mengambil sesuatu secara pribadi. Itulah yang membuatnya mampu bertahan sebagai penyelundup di Cakrawala, daerah pertemuan tanpa hukum antara Bima Sakti dan sisa-sisa Kekaisaran Naga kuno. Ini adalah tempat di mana Jakarta terasa begitu jauh, dan Space Command Indonesia seakan-akan tidak pernah ada.
Don’t take it personal berarti tidak boleh merasa tersinggung atas penghinaan. Itu cukup mudah. Orang Indonesia, hampir tanpa kecuali, sangat sopan, efek dari bahasa yang membuat penghinaan langsung menjadi sulit—bahkan setelah berabad-abad menyerap kata-kata dari bahasa Inggris. Namun, para xenofolk yang pernah diperintah oleh Kaisar Naga adalah cerita yang berbeda. Meskipun demikian, menjaga ketenangan diri bukanlah hal yang terlalu sulit.
Ada sisi lain dari aturan ini: jangan berteman. Bagaimanapun juga, janganlah menjadi terlalu dekat dengan siapa pun. Kenalan boleh, tapi jangan sampai menjadi teman. Dan yang paling penting, jangan pernah memiliki rekan sejati.
Itulah sebabnya Joni sangat terganggu dengan keadaannya sekarang. Kapalnya, Garuda Nusantara, memiliki seorang penyusup. Suara langkah kaki dari arah palka kargo mengungkap kehadiran sang penyusup. Seorang penyelundup seperti Joni tidak bisa membiarkan penumpang gelap. Ia baru saja menyelesaikan pengiriman—tentu saja, ilegal—ke Merling, sebuah planet yang dulunya berada di bawah kekuasaan Kaisar Naga. Namun, para penghuni planet itu, para kucing, telah lama merdeka ketika orang-orang Indonesia tiba. Dengan kapalnya masih tertambat di Merling, ia harus menyingkirkan siapa pun yang menyelinap ke dalam kapalnya sebelum pergi untuk pekerjaan berikutnya.
Dengan pistol kesayangannya dalam genggaman, Joni memasuki palka kargo. Di hadapannya berdiri seorang gadis muda di depan peti-peti kargonya. Seorang kucing, tak diragukan lagi, dengan telinga kucing yang adalah ciri khas kaumnya.
"Freeze!" seru Joni, senjatanya terangkat.
Gadis kucing itu maju dengan tangan terangkat. "Jangan tembak!"
Joni menatap pendatang baru itu dengan ekspresi tetap tak terbaca. "Keluar dari kapalku."
"Tunggu," ucap gadis itu. "Tolong bawa aku pergi dari planet ini."
Joni menyipitkan mata. "Kenapa?"
Mendengar pertanyaan itu, gadis kucing tersebut meraih sesuatu dari balik peti kargo dan menunjukkan sesuatu yang membuat Joni terkejut.
"Seorang bayi?" ucap Joni. "Jelaskan."
Maka gadis itu pun bercerita. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Nina; hanya sebuah panggilan, karena nama aslinya terlalu sulit diucapkan oleh lidah orang Indonesia. Nina menjelaskan bahwa ia berusaha melarikan diri dari planet ini bersama adik bayinya. Ia sendiri adalah keturunan keluarga bangsawan Merling, meskipun nama keluarganya tidak memiliki arti bagi Joni. Untuk Joni, kisah yang diceritakan gadis itu sulit dipercaya...
"Kau bilang keluargamu ingin membunuh adikmu demi ritual keagamaan? Kenapa aku harus mempercayaimu?"
Nina menjawab, "Kau berbicara seolah hal seperti ini tak pernah terjadi. Mungkin bagi orang-orang Indonesia itu benar, tapi tidak bagi kami, yang telah hidup di bawah Kaisar Langit jauh sebelum bangsamu bermimpi menjelajahi bintang."
Joni meringis. "Aku sebelumnya belum pernah menyelundupkan manusia." Nada suaranya menjadi sarkastik. "Maafkan ya jika aku tak langsung mempercayai ceritamu."
Namun, perdebatan mereka terpotong oleh pengumuman keras dari luar Garuda. Suara itu berbicara dalam bahasa Indonesia—terbata-bata, namun cukup jelas bagi Joni untuk mengerti:
"Kepada kapten kapal Indonesia. Kasih wanita dan anak yang kamu jaga. Mereka itu bangsawan Merling. Kalau tidak, kita anggap perang."
Joni menggeleng. "Sial. Lalu sekarang bagaimana?"
Nina menatapnya dengan mata memohon. "Tolong jangan serahkan kami. Aku... aku bisa membuatnya berharga untukmu."
Lalu gadis kucing itu mengeluarkan sebuah kantong dari jaketnya dan membukanya. Mata Joni melebar melihat harta hijau yang berkilauan di dalamnya.
"Giok Naga," bisik Joni. "Banyak sekali."
"Aku memiliki lebih banyak lagi, pembajak Indonesia," sahut Nina. "Cukup untuk membeli sebuah planet."
Joni menyeringai. "Pertama-tama, aku ini penyelundup, bukan pembajak. Kedua, namaku Joni—Joni Angkasa. Dan terakhir, kau sadar bahwa aku bisa saja mengambil semua giok ini dan menyerahkanmu, kan?"
Mata Nina membelalak ketakutan.
"Tapi aku tidak akan melakukannya," lanjut Joni.
"Jadi..."
"Untuk saat ini, aku percaya ceritamu. Itu satu-satunya penjelasan yang masuk akal. Bawa bayimu dan ikut aku ke kokpit. Kita pergi dari planet ini."
Nina tersenyum, meskipun wajahnya masih menyimpan ketidakpastian. "Kau pikir kita bisa lolos dari mereka?"
"Kita lihat saja," jawab Joni. "Garuda Nusantara dulu pernah menjadi kapal dalam armada sang Raja Situmorang."
***
Guncangan kapal Garuda Nusantara hampir melempar Nina dan Joni dari kursi mereka.
“Kena lagi!” seru Nina. “Kita tidak akan selamat!”
Jari-jari Joni dengan panik menekan tombol-tombol kapal Garuda. “Tenanglah, kucing! Kapal ini memang dibuat untuk menahan serangan. Aku tahu dari pengalaman pribadi.”
Namun, meskipun ucapannya penuh percaya diri, Joni tak bisa menghilangkan rasa cemasnya sendiri. Mereka sudah hampir mencapai tepi arus hiperspasi. Sedikit lagi, dan dia bisa lepas dari kapal-kapal Merling.
Jendela di depan mereka, yang sebelumnya hitam pekat, mulai berubah menjadi putih. Joni bersandar di kursinya dan menghela napas lega. Kini mereka telah masuk ke dalam hiperspasi. Nina memeluk adiknya yang masih bayi; dalam tidurnya, sang bayi tetap tak menyadari betapa dekat mereka tadi dengan kematian.
“Kita sudah aman sekarang,” kata Joni.
“Ke mana kita akan pergi?” tanya Nina.
Joni bangkit dari kursinya. “Jauh ke dalam Bima Sakti... ke wilayah peradaban, di mana armada SCI akan memastikan bahwa para kucing tidak akan mengejar kita. Untuk planetnya, kita menuju ke Aceh Baru. Perjalanan akan memakan waktu beberapa jam, jadi lebih baik kau beristirahat.”
“Aceh Baru? Kenapa ke sana?”
“Banyak pedagang di sana,” jawab Joni, “jadi kaum xenofolk sepertimu tidak akan terlalu menarik perhatian. Yang lebih penting, orang-orang di sana... memperlakukan kucing dengan baik. Sesuatu yang berkaitan dengan agama mereka, kalau tidak salah nabi mereka sangat menyukai kucing. Jadi aku yakin kucing seperti kamu akan baik-baik saja.”
Nina mengangkat alis. “Kucing, kau mengucapkan kata itu lagi. Tapi itu bukan nama ras kami.”
Joni tersenyum. “Memang bukan, tapi begitulah orang Indonesia menyebut kaum kalian. Terima saja.”
***
Pelabuhan antariksa Kutaraja, ibu kota Aceh Baru, penuh dengan aktivitas. Pasar tak jauh dari sana. Bagi Joni, tempat ini adalah lokasi yang tepat untuk menurunkan Nina dan adik bayinya. Dengan kantong penuh Giok Naga, ia yakin mereka tidak akan kesulitan memulai hidup baru di planet ini.
Bagi Joni, ia telah melakukan kebaikan bagi mereka. Lalu kenapa Nina terlihat begitu muram?
Tentu saja, Joni paham; ia juga merasa berat hati melihat gadis itu pergi. Sang penyelundup memandang Nina yang menggendong bayi yang telah ia pertaruhkan nyawanya untuk selamatkan. Jika Nina tidak mengatakan bahwa bayi itu adalah adiknya, Joni pasti mengira mereka adalah ibu dan anak. Sesaat, pikirannya melayang, tapi ia segera sadar kembali. Ia mengingat aturannya: don’t take it personal.
"Jadi, Nona Kucing," ucap Joni, "sepertinya ini adalah perpisahan."
Nina tampak ragu, lalu akhirnya berkata, "Kau tahu, ini tidak harus berakhir seperti ini."
"Apa maksudmu?"
"Aku punya cukup giok untuk kita mulai hidup bersama. Kau, aku, dan bayi ini. Kau tidak perlu lagi menyelundup seumur hidupmu, Joni."
Joni menggeleng. "Orang sepertiku tak pantas mendapat kesempatan kedua, Nina."
Gadis itu menghela napas. "Aku sudah menduganya, tapi aku harus mencoba." Ia merogoh kantong gioknya. "Ini bayaranmu."
"Jangan berikan lebih dari yang kubutuhkan untuk memperbaiki kapalku."
Nina menurut. Namun, sebelum berpisah, ia mendekatkan wajahnya ke arah Joni dan mengecup pipinya.
Saat akhirnya ia pergi untuk memulai hidup barunya, Nina meninggalkan beberapa kata perpisahan bagi penyelundup yang telah menyelamatkannya:
"Kau adalah orang baik, Joni Angkasa."
Thanks for reading, especially those who speak Indonesian. Bima Sakti is a sci-fi collaborative effort by Michael P. Marpaung (me) and
. Click below and subscribe for more Bima Sakti: